BANGGAI TERKINI, Jakarta – Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Juli, Bank Indonesia (BI) akhirnya memulai siklus pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin. Langkah ini menjadikan BI Rate berada di level 4,75 persen, sinyal kuat bahwa otoritas moneter kini lebih fokus mendorong pertumbuhan ekonomi setelah lebih dari setahun bersikap hati-hati.
Langkah ini sesuai dengan proyeksi Fakhrul Fulvian, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, yang sudah sejak awal tahun mendorong BI untuk segera merespons sinyal makroekonomi yang menguntungkan: inflasi yang jinak, rupiah yang stabil, dan prospek arus modal yang membaik.

“Pemotongan bunga ini adalah awal dari siklus baru, bukan langkah tunggal. Dengan inflasi rendah dan tekanan eksternal yang makin longgar, ruang pelonggaran masih terbuka lebar, bahkan bisa turun ke 4,5 persen tahun ini,” kata Fakhrul, dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Rabu (16/7/2025).
Apa yang membuat BI lebih percaya diri hari ini? Jawabannya terletak pada konstelasi global yang berubah drastis akibat perang dagang dan negosiasi ulang jalur perdagangan dunia.
Kesepakatan dagang baru antara Indonesia dan Amerika Serikat yang diumumkan sehari sebelumnya, menurut Fakhrul, bukan sekadar soal tarif, tapi menciptakan reposisi strategis Indonesia dalam sistem keuangan dan perdagangan internasional.
“Dengan memudarnya minat negara-negara surplus untuk membeli US Treasury akibat fragmentasi geopolitik, akan ada rotasi FX reserve global. Negara emerging seperti Indonesia akan menjadi alternatif penempatan aset yang lebih menarik,” jelas Fakhrul.
Efek domino dari perubahan ini bisa mengarah pada: Penguatan rupiah lebih lanjut (target ke Rp15.500/USD), Penurunan tekanan impor modal, dan Kepastian moneter lebih besar untuk pelaku pasar dan investor.
Dari sisi domestik, inflasi tahunan per Juni 2025 tercatat hanya 1,87 persen, terendah dalam lima tahun terakhir. Nilai tukar rupiah terus menguat stabil, dan cadangan devisa Indonesia mencapai rekor baru USD153 miliar. Semua ini adalah faktor pendukung kuat untuk stimulus moneter dan fiskal lebih agresif.
“Kalau kita tidak ekspansi sekarang, kita akan kehilangan momentum. Peluang seperti ini tidak datang dua kali dalam siklus global,” ujar Fakhrul.
Dia menekankan bahwa dunia usaha — dari sektor manufaktur, infrastruktur hingga teknologi — harus merespons dengan investasi dan ekspansi, seiring ruang pembiayaan yang lebih longgar dan prospek permintaan yang membaik.
Penurunan bunga oleh Bank Indonesia bukan hanya sinyal kebijakan, tetapi tanda bahwa risiko sistemik telah berkurang, dan Indonesia siap kembali tumbuh dengan fondasi yang lebih kuat.
Bagi pelaku pasar, pelonggaran moneter akan membuka jalan: Turunnya cost of fund bagi korporasi dan UMKM, Meningkatnya daya saing ekspor, Stimulasi sektor properti dan konstruksi, dan Katalis kenaikan IHSG di semester kedua.
“Ini bukan euforia. Ini strategi makro yang didukung data dan realitas global baru. Rupiah menguat, inflasi terkendali, investor melihat Indonesia sebagai jangkar stabil di tengah turbulensi,” pungkas Fakhrul