DINAS Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Banggai Laut kini tidak lagi hanya sekedar disorot, mereka sedang berdiri di tengah sorotan terang-benderang yang mempertanyakan integritas, kapabilitas, dan tanggung jawab moral institusinya.
Aroma kekacauan administratif yang selama ini samar, kini meledak ke permukaan dengan bukti dan dampak yang nyata, bahkan fatal.
Masalah ini bukan lagi sekedar persoalan lambat input data atau miss-komunikasi antara bagian teknis dan lapangan. Ini sudah menyentuh titik nadir, pengabaian asas verifikasi yang valid, ketidaktertiban sistematis, dan arogansi birokrasi yang melukai rasa keadilan bagi tenaga honorer guru yang selama ini setia mengabdi dalam sunyi.
Sumber kekacauan ini sebetulnya bukan hal baru. Ketidaktertiban data pokok pendidikan (Dapodik), sebaran guru yang tidak sesuai kenyataan, serta minimnya validasi terhadap informasi dasar sekolah telah lama menjadi duri dalam daging. Namun baru kali ini efek destruktifnya benar-benar menghantam wajah lembaga melalui kasus pembatalan NIPPPK salah satu peserta yang dinyatakan lulus seleksi nasional oleh BKN.
Yang lebih mengherankan, calon PPPK tersebut sebelumnya telah mengantongi surat resmi bermaterai dari Dikpora yang menyatakan dirinya aktif bekerja di lembaga pendidikan secara terus menerus, surat yang menjadi syarat utama seleksi.
Namun, setelah proses seleksi panjang dan kelulusan diumumkan, justru Dikpora sendiri yang mengusulkan pembatalan atas dasar bahwa calon tersebut “sudah tidak aktif sejak Januari 2023”. Perlu dicatat. Ini bukan sekadar blunder ini bentuk pengkhianatan terhadap proses yang semestinya mengedepankan integritas dan kejelasan prosedur pada seleksi PPPK.
Lebih jauh lagi, pernyataan dari Sekretaris Dikpora Irsan A. Mammak dalam RDP bersama DPRD Kamis 12 Juni 2025 justru memperparah luka publik. Ia mengakui bahwa verifikasi hanya dilakukan melalui dokumen saja. Artinya, data tak pernah benar-benar diverifikasi secara faktual sejak awal, dan baru dikoreksi setelah muncul tekanan dari media massa dan laporan masyarakat.
“Koordinasi dengan pihak sekolah memang betul, yang bersangkutan sudah tidak menjalankan tugasnya,” ujar Irsan.
Dikpora tak hanya gagap dalam administrasi, tapi juga kehilangan arah moral. Setelah menyatakan bahwa peserta aktif bekerja secara terus-menerus, selanjutnya pasca lulus, kemudian didesak untuk memilih “pengakuan dan pembatalan” atau “ranah hukum karena dugaan pemalsuan dokumen”, maka jelas ada ancaman yang dipakai sebagai jalan pintas untuk menutupi kelalaian awal Dikpora. Ini tindakan represif birokrasi, bukan koreksi institusi yang bertanggung jawab.
Sejak kapan verifikasi dokumen menjadi urusan intimidasi? Dan lebih penting: siapa yang mengizinkan keluarnya surat pernyataan keaktifan tanpa pengecekan di lapangan?
Jawabannya tidak pernah terang. Yang terang adalah korban sudah jatuh dan tanggung jawab itu belum dipikul siapa pun.
Anggota DPRD Banggai Laut, Syamsul Latif, sudah tepat ketika menilai Dikpora lalai dalam verifikasi. Tapi bahasa “lalai” agaknya terlalu lunak. Yang terjadi di Dikpora adalah kegagalan menyeluruh dari verifikasi hingga etika birokrasi. “Setelah ada pengaduan baru melakukan pembenahan. Itu konyol dan sangat terlambat,” ucap Syamsul Latif.
Dalam sistem yang sehat, Kepala Dinas Dikpora seharusnya sudah menyatakan pengunduran diri atau dimundurkan oleh pimpinan, atau setidaknya minta maaf secara terbuka. Tapi hingga kini, tidak ada satu pun pernyataan tanggung jawab yang keluar secara jantan.
Dikpora sudah saatnya dilakukan “cuci gudang” secara menyeluruh. Struktur harus dievaluasi, jabatan harus dirotasi, dan kultur kerja harus dibongkar hingga ke akar. Tak bisa dibiarkan sebuah OPD strategis seperti Dikpora berjalan seperti kapal tanpa kompas, dengan nahkoda yang hanya pandai menyalahkan angin.***