SABAN tahun, 17 Agustus dirayakan dengan gegap gempita. Bendera dikibarkan, lomba diadakan, pidato berkumandang, dan rakyat diminta untuk mengenang jasa para pahlawan. Meski demikian, di balik semangat nasionalisme dan simbol-simbol patriotik yang bertebaran di sudut-sudut negeri, memantik pertanyaan diam bahkan nyaris lebih nyaring dari karnaval Agustusan, apakah kemerdekaan yang dirayakan ini benar milik rakyat atau justru menjadi alat kekuasaan baru yang menindas dengan menggunakan tangan-tangan tak terlihat, saya kira ini yang disebut neo-kolonialisme. Bukan oleh bangsa lain, tapi penguasa sendiri.
Alih-alih bebas dari penjajahan fisik bangsa lain sejak 1945. Namun, bagaimana dengan penjajahan dalam bentuk lain seperti: ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, kirisis sumber daya manusia, pembabatan sumber daya alam, krisis pendidikan, korupsi, kolusi, nepotisme yang ada seperti duri dalam daging, disisi lain, suara-suara kritis sebagai Watchdog yang kerap di represi.

80 tahun Indonesia merdeka, pertanyaannya apakah rakyat sudah benar-benar merdeka, ketika banyak dari rakyat masih hidup dalam kemiskinan, sementara segelintir elite hidup dalam kemewahan, bisa mengatur hukum apabila bermasalah, ibarat pesanan yang bisa diatur sesukanya.
Peringatan 17 Agustus kerap menjadi panggung bagi para penguasa untuk menunjukkan nasionalisme yang semu. Pidato tentang persatuan dan cita-cita bangsa dibacakan di atas podium dengan membusungkan dada, sementara itu di balik layar, suara-suara yang menuntut keadilan dibungkam, aktivis dikriminalisasi, dan hak asasi manusia dipinggirkan atas nama stabilitas negara.
Lomba – lomba dan karnaval merah-putih memang menyenangkan, tapi apakah itu cukup untuk menutupi kenyataan bahwa kemerdekaan masih jauh dari kata kesejahteraan bersama, generasi muda diajak mencintai tanah air, tetapi tidak diajarkan untuk berpikir kritis tentang bagaimana negara ini dikelola sesuai amanat UUD 1945.
Apakah ini kemerdekaan, jika rakyat tak punya kuasa atas sumber daya alamnya sendiri Sementara penguasa bersenang-senang menikmati hasilnya bersama oligarki. Apakah ini kemerdekaan kebebasan, jika suara rakyat kalah dan dibungkam oleh kepentingan elit penguasa, sementara penguasa harus tetap di percaya dengan dalil kekuasaan.
Apakah ini kemerdekaan hukum. Jika rakyat tak punya kuasa untuk menuntut keadilan di negeri sendiri, apakah ini kemerdekaan dalam penindasan. Jika rakyat terus di pajaki atas nama pertumbuhan ekonomi negara, sementara penguasa negara terus merampok uang rakyat.
Ini yang dinamakan merdeka tapi “Merdeka dalam Penindasan”
Maka mungkin sudah saatnya kita berhenti merayakan 17 Agustus hanya sebagai seremoni belaka. Mari jadikan momen ini sebagai refleksi Bangsa, bahwa kita harus tau siapa yang benar-benar merdeka di negeri ini, dan siapa yang masih dijajah oleh sistem, oleh kebijakan, bahkan Sejarah yang terlupakan.***
Oleh : Irfan Kahar Sekertaris jendral BEM Universitas Ichsan Gorontalo