Oleh : Irfan Kahar
BANGGAI TERKINI, Salakan – Euforia Hari Ulang Tahun ke-26 Banggai Kepulauan semestinya menjadi momentum refleksi dan evaluasi besar-besaran atas perjalanan panjang berdaerah.

Dibalik gagap gempita seremoni peringatan, terselip kenyataan pahit bahwa Banggai Kepulauan dinilai masih jauh dari cita-cita kesejahteraan.
26 tahun bukan waktu yang singkat untuk menata sebuah daerah, meski begitu kenyataannya Bangkep masih berkutat pada persoalan dasar mulai dari sumber daya manusia, infrastruktur, dan ekonomi.
Jika dibedah, sektor pembangunan infrastruktur, berbagai wilayah di Bangkep masih terisolasi. Akses jalan antar kecamatan banyak yang rusak parah, fasilitas kesehatan terbatas, dan pelayanan publik kerap tidak menjangkau masyarakat di desa-desa. Padahal, infrastruktur merupakan fondasi utama kemajuan ekonomi dan sosial.
Krisis sumber daya manusia (SDM) juga menjadi persoalan mendasar. Minimnya kualitas pendidikan, kurangnya tenaga profesional, dan rendahnya tingkat literasi digital membuat daya saing masyarakat Bangkep tertinggal jauh dibanding daerah-daerah lain di Sulawesi Tengah.
Secara ekonomi, masyarakat Bangkep masih bergantung pada sektor primer yang tidak diolah secara maksimal. Potensi besar di sektor kelautan, perikanan, dan pertanian belum dikelola secara modern dan berkelanjutan. Imbasnya, angka kemiskinan masih tinggi dan banyak warga memilih merantau demi mencari kehidupan yang lebih layak.
Tak hanya itu saja, di kebudayaan, identitas lokal mulai menggerus jati diri daerah. Generasi muda semakin jauh dari nilai-nilai dan tradisi budaya Banggai, sementara kebijakan pemerintah daerah dinilai masih kurang memberi ruang bagi pelestarian kearifan lokal sebagai kekuatan sosial dan spiritual masyarakat.
Sementara dalam aspek politik dan tata kelola pemerintahan, Bangkep masih diwarnai dengan lemahnya sistem birokrasi dan masih rendahnya integritas.
Sudah lebih dari seperempat abad Bangkep berdiri, namun kita masih terjebak dalam lingkaran ketertinggalan. Pemerintah daerah harusnya malu jika pada usia 26 tahun, rakyat masih bergulat dengan kemiskinan, pendidikan yang minim, dan infrastruktur yang rusak. Ini bukan lagi sekadar soal waktu, tapi soal keseriusan dan arah pembangunan.
Ia juga menyoroti lemahnya konsistensi pemerintah dalam merancang kebijakan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Selama ini, pembangunan di Bangkep kami nilai cenderung belum terencana dengan matang. Banyak program yang hanya bersifat seremonial dan tidak berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat
Refleksi HUT ke-26 harus menjadi momentum evaluasi besar-besaran terhadap arah kebijakan pemerintah daerah, terutama dalam memperbaiki kualitas SDM dan penataan birokrasi. Kita butuh pemimpin yang visioner, jujur, dan benar-benar memahami akar persoalan daerah. Tanpa itu, Bangkep hanya akan terus menambah usia tanpa kemajuan berarti.















