Menurut Meutya, teknologi yang kuat harus dibangun bersama dengan nilai, akses, dan kolaborasi. Dalam hal ini, AI Indonesia harus mencerminkan karakter bangsa, bukan sekadar meniru model luar.
Ia menyoroti semangat gotong royong yang hidup dalam istilah lokal di berbagai daerah—dari sambatan di Jawa, ngayah di Bali, marsiadapari di Batak, hingga sabilulungan di Sunda—sebagai bukti bahwa nilai kebersamaan adalah fondasi digital Indonesia.

“Beragam nama tapi satu makna. Ini adalah ciri khas Indonesia: saling menopang dan saling menguatkan,” kata dia.
Meutya juga mengungkapkan, bahwa pemerintah sedang menyusun Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional yang dijadwalkan selesai pada Juni 2025. Peta jalan ini akan menjadi pedoman utama dalam pengembangan teknologi AI nasional yang inklusif dan berbasis etika.
Ia juga mencatat bahwa investasi global di bidang AI generatif meningkat dari US$4 miliar pada 2021 menjadi US$25 miliar pada 2025 dan Indonesia tidak ingin sekadar menjadi pengguna, melainkan juga pencipta dan pengarah AI yang berakar dari kebutuhan rakyat.
“Dengan hadirnya Sahabat AI 70B melalui 70 miliar parameter, kita harapkan ini bisa menjadikan Indonesia sekelas dengan model-model global dari berbagai negara. Kita boleh memberikan aplaus untuk itu,” tandas Meutya Hafid.